KIRKA – Kasus Suap dan Gratifikasi eks Rektor Unila, Profesor Karomani sudah melewati momen pembacaan Surat Tuntutan dari Jaksa KPK. Pada 27 April 2023, perbuatan Profesor Karomani menerima Suap dan Grafikasi dinilai telah terbukti oleh Jaksa KPK berdasarkan rangkaian proses pembuktian.
Dalam Surat Tuntutan, Jaksa KPK menuntut supaya Profesor Karomani dipidana penjara selama 12 tahun disertai dengan kewajiban membayar Uang Pengganti senilai Rp 10.235.000.0000 dan 10 ribu Dollar Singapura sebagai Pidana Tambahan.
Profesor Karomani dinilai telah menerima Suap atas pelaksanaan Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) di Unila sejak tahun 2020 sampai dengan 2022 dan menerima Gratifikasi dalam rentang tahun serupa dalam kapasitasnya sebagai Rektor Unila periode 2019-2023.
Dalam Surat Tuntutan, Jaksa KPK membeberkan dasar pikirnya mengapa menerapkan Pidana Tambahan terhadap Karomani atas kasus Suap dan Gratifikasi eks Rektor Unila tersebut.
Sebagai informasi, Surat Tuntutan terhadap Profesor Karomani ini dibacakan secara bergiliran oleh Jaksa KPK yang terdiri dari Lignauli Sirait, Andhi Ginanjar dan Widya Hari Sutanto di PN Tipikor Tanjungkarang.
Lihat juga: Surat Tuntutan Eks Rektor Unila Memuat Sejumlah Bukti yang Dikembalikan ke Penyidik Untuk Perkara Lain
Berikut uraian lengkap ihwal dasar pikir Jaksa KPK menerapkan penjatuhan Pidana Tambahan berupa kewajiban membayar Uang Pengganti:
Bahwa sesuai ketentuan pasal 10 KUHP, pidana terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Selanjutnya Penuntut Umum akan mempertimbangkan mengenai Pidana Tambahan atas diri terdakwa.
Ketentuan pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyebutkan:
“Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18”.
Pasal 18 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut secara lengkap rumusannya adalah sebagai berikut:
Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah:
A. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;
B. Pembayaran Uang Pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;
C. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 tahun;
D. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.
Jika terpidana tidak membayar Uang Pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi Uang Pengganti tersebut.
Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar Uang Pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
Peraturan Mahkamah Agung (Perma) RI Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti dalam Tindak Pidana Korupsi juga menyatakan sebagai berikut:
Pasal 1:
“Dalam hal menentukan jumlah pembayaran Uang Pengganti dalam tindak pidana korupsi adalah sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi dan bukan semata-mata sejumlah kerugian keuangan negara yang diakibatkan”.
Pasal 2 Perma tersebut juga menyatakan bahwa:
“Hasil korupsi yang telah disita terlebih dahulu oleh penyidik harus diperhitungkan dalam menentukan jumlah Uang Pengganti yang harus dibayarkan terpidana”.
Pasal 3 Perma tersebut juga menyatakan bahwa:
“Pidana tambahan Uang Pengganti dapat dijatuhkan terhadap seluruh tindak pidana korupsi yang diatur di dalam Bab II Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan tetap memperhatikan Pasal 1 di atas.”
Pasal 5 Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 5 Tahun 2014 menyatakan:
“Dalam hal harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi tidak dinikmati oleh terdakwa dan telah dialihkan kepada pihak lain, Uang Pengganti tetap dapat dijatuhkan kepada terdakwa sepanjang pihak lain tersebut tidak dilakukan penuntutan baik dalam tindak pidana korupsi maupun tindak pidana lainnya seperti tindak pidana pencucian uang.”
Bahwa selain peraturan tersebut di atas, terdapat pula Yurisprudensi Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa terdakwa harus mengembalikan uang suap yang diterima yaitu berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1106K/Pid.Sus/2018 tanggal 30 Juli 2018 atas nama terpidana Dwi Widodo telah divonis dengan pidana penjara selama 3 tahun dan 6 bulan penjara ditambah pidana denda sebesar Rp150 juta subsider 3 bulan kurungan dan pidana tambahan berupa Uang Pengganti sebesar Rp535,1 juta dan 27.400 ringgit Malaysia.
Oleh karena tuntutan pembayaran Uang Pengganti tidak hanya terbatas pada kerugian keuangan negara yang diakibatkan oleh perbuatan terdakwa (vide Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) melainkan dapat juga diajukan terhadap seluruh hasil tindak pidana korupsi yang diperoleh dan dinikmati terdakwa, in casu – tindak pidana korupsi menerima hadiah (menerima suap) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a atau b Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maka terhadap terdakwa dapat dibebankan pidana tambahan berupa pembayaran Uang Pengganti.
Lihat juga: Karomani Beber 7 Poin Prestasinya di Surat Pledoi, Singgung Soal Tender Proyek Unila