FSBKU-KSN Pertanyakan Upaya Negara Lindungi Buruh

Kirka.co
Ketua Umum FSBKU-KSN Yohannes Joko Purwanto. Foto Dok Pribadi

KIRKA – Bertepatan dengan momentum peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke-76, FSBKU-KSN mempertanyakan upaya negara dalam melindungi hak kemerdekaan bagi kaum buruh.

Sebab, sudah hampir dua tahun Covid-19 ini berlangsung yang akhirnya mendorong
Indonesia memasuki krisis kesehatan dan berlanjut menjadi krisis ekonomi.

Persoalan ini menempatkan nasib buruh menjadi kian tak pasti.

“Dimanfaatkannya situasi ini sebagai media memperkuat cengkraman kekuasaan oligarki politik yang membajak demokrasi juga menambah parah beban penderitaan rakyat, khususnya rakyat pekerja,” tegas Ketua Umum FSBKU-KSN Yohannes Joko Purwanto, Selasa (17/08/2021).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, situasi Covid-19 memberikan dampak terhadap 14,28 persen penduduk usia kerja, atau 29,12 juta orang dari total populasi 203,97 juta.

Angka ini terdiri dari 2,56 juta orang yang menganggur, 0,76 juta orang bukan angkatan kerja, 1,77 juta orang sementara tidak bekerja.

Kemudian, kata Joko, 24,03 juta orang yang mengalami pengurangan jam kerja.Semuanya dikarenakan pandemi.

“Tidak mengherankan jika kemudian tingkat pengangguran terbuka di Indonesia mengalami peningkatan dari 5,23 persen sejak Agustus 2019 menjadi 7,07 persen pada Agustus 2020 kemarin,” jelas dia.

Seruan “kerja dari rumah” dan “jaga jarak” oleh pemerintah tidak pernah bisa dibayangkan oleh buruh pabrik.

Aturan PPKM justru mengecualikan industri orientasi ekspor dan sejumlah sektor
industri lainnya yang diperbolehkan untuk beroperasi dengan pembatasan seperti
jumlah pekerja dalam satu hari.

Buruh menghadapi risiko terbesar tertular Covid-19 dengan varian Delta. Kebijakan pemerintah yang memfasilitasi upah murah dan kerentanan kerja, termasuk UU
Cipta Kerja, membuat buruh dan keluarganya hidup diujung tanduk.

“Semua hasil kebijakan yang melayani keserakahan pengusaha merampas jaminan kerja akibat meluasnya kerja kontrak, alih
daya dan magang, serta menekan upah serendah-rendahnya,”ujar dia.

“ini betul-betul terasa dampaknya di masa
sulit pandemi Covid-19. Kebijakan pemerintah tidak pernah sensitif pada kondisi mayoritas rakyat yang tidak mempunyai jaminan pendapatan, tinggal di kontrakan sempit,” ucap dia.

Selain itu, aturan kegiatan belajar mengajar jarak jauh tidak memikirkan kondisi mayoritas buruh yang tidak mempunyai ponsel pintar dan menguasai metode daring untuk memastikan anaknya tetap mendapat pendidikan.

Artinya, pemerintah telah lalai mengarahkan pembangunan dan perekonomian untuk menyejahterakan rakyat.

“Runtuhnya fasilitas kesehatan, hilangnya tenaga kesehatan, langkanya oksigen serta pasokan obat adalah dampak dari kebijakan yang menghamba keserakahan dan kekayaan segelintir orang,” ungkap dia.

“Meski Covid-19 semakin agresif. Namun pengusaha masih saja berupaya memaksakan buruh pabrik bekerja 100 persen tanpa batasan,” keluh Joko.

Penulis: Arif Wiryatama