KIRKA – Sekelompok warga dari berbagai daerah akhirnya menyeret Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, Maruarar Sirait, ke Mahkamah Agung, Senin (19/8).
Kuasa hukum pemohon, Dr. Teguh Satya Bhakti, menyebut para penggugat adalah masyarakat berpenghasilan setara UMR yang belum punya rumah.
Ironisnya, mereka kini harus berhadapan dengan kebijakan “ajaib” Menteri Ara lewat Permen Nomor 5 Tahun 2025.
Dalam aturan itu, Menteri Ara mendefinisikan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) sebagai mereka yang berpenghasilan… Rp14 juta per bulan. Iya, empat belas juta, dan katanya masih “rendah”.
“Permen ini merampas hak warga miskin untuk mendapatkan rumah subsidi. Yang miskin jadi dipaksa adu cepat dengan orang kaya demi rumah yang dibiayai APBN,” tegas Teguh.
Aturan itu jelas menabrak UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera, yang tegas-tegas menyebut penerima pembiayaan FLPP hanyalah pekerja dengan gaji setara UMR.
Lebih konyol lagi, data Inpres Nomor 4 Tahun 2025 tentang Data Tunggal Sosial Ekonomi (DTSen) justru memasukkan orang berpenghasilan Rp14 juta ke kategori desil 9 alias sangat kaya.
Jadi, bagaimana mungkin orang “kaya raya” tiba-tiba dilabeli “miskin” versi Menteri Ara?
Dengan kata lain, aturan ini bukan cuma janggal, tapi juga merampok hak rakyat miskin yang benar-benar butuh rumah.
Hanya gara-gara definisi ngawur, rakyat kecil terpaksa bersaing dengan mereka yang dompetnya tebal.
Tuntutan Para Pemohon
- Mengabulkan permohonan uji formil dan materiil atas Permen Nomor 5 Tahun 2025.
- Menyatakan pembentukan lampiran Permen tidak sesuai asas pembentukan peraturan perundang-undangan.
- Menyatakan lampiran Permen bertentangan dengan UU Perumahan, UU Tapera, UU Cipta Kerja, dan Inpres Data Tunggal Sosial Ekonomi.
- Memerintahkan Menteri Perumahan mencabut lampiran Permen Nomor 5 Tahun 2025.
“Gugatan ini diajukan demi menciptakan kepastian hukum sekaligus memperbaiki tata kelola kebijakan perumahan di Indonesia,” tutup Teguh.






